Wednesday, June 6, 2012

Memotret Rina yang Muda dan Imut

Namaku Ricky, usia 30 tahun. Sehari-hari aku membawa kamera DSLR yang baru saja aku 
beli dari hasil jerih payahku selama 10 tahun ini bekerja sebagai fotografer lepas. Klien ku udah banyak. Pasangan yang minta difoto untuk momen pre wedding hingga siapapun yang naik ke pelaminan, korporasi yang ingin mengabadikan acara-acara formal, sampai model-model baru yang memintaku melejitkan karier mereka lewat majalah dewasa.

Tiga tahun lalu, aku mempekerjakan seorang gadis remaja. Namanya Rina. Aku "menemukannya" saat hunting foto di daerah pinggiran Jakarta. Ibunya, seorang janda, membantuku mencari set lokasi di daerah itu agar aku bisa menemukan tempat paling bagus untuk memotret foto human interest yang mengaduk-aduk emosi. Tanpa uluran tangan si ibu itu, mungkin foto yang aku miliki sekarang tidak jauh berbeda jika dibandingkan dengan foto-foto para mahasiswa klub fotografi yang ada di kampus-kampus.

Sembari berburu lokasi, ibu itu--kira-kira usia 40 tahunan--sering mengajakku berbincang. Ada saja yang diobrolkan mulai dari dimana aku sekolah, siapa pacarku, dan lain sebagainya. Aku masih menjomblo dan sedang mengejar karier, jawabku singkat. Tapi kami cukup akrab. Setiap kali ia membantuku, aku menyodorinya amplop berisi beberapa lembar uang seratus ribuan. Tak heran kalau ibu itu cukup senang membantuku.

Suatu hari, ia mengajakku berbicara serius. Pendek kata, ia memintaku untuk merawat Rina, anak tunggalnya yang berusia 14 tahun, karena ia tak bersekolah lagi dan hidupnya tanpa arah. Ayahnya sudah minggat entah kemana. Karena iba dan aku juga membutuhkan asisten untuk membawa segala perlengkapan kameraku, aku pun mengiyakan permintaan ibu itu. Lagipula, bukan cuma 1 atau dua kali saja aku "bekerja sama" dengan ibu yang masih kelihatan seksi itu. Mungkin sudah puluhan kali sehingga kami sudah saling mengenal dan percaya satu dengan lainnya.

Saat itu, Rina masih kurus dan agak kumal. Ia selalu menguntit kemana ibunya pergi. Kulitnya sawo matang namun manis rupanya. Alisnya tebal, rambutnya panjang. Tutur katanya pun halus untuk ukuran "anak hilang" yang sering tinggal di tempat-tempat kumuh seperti itu.

Akhir kata, aku menjemput Rina dan membawanya pulang ke studio foto. Letak studio foto dan rumah ibunya masih satu kota. Jadi tidak terlalu membebani. Lambat laun, Aku memberinya tugas yang tidak sulit. Membawa perlengkapan kamera dan mencatat jadwal-jadwal pemotretan. Tak lupa, aku menyekolahkannya ke sekolah terdekat supaya terhindar dari kesan jika aku mempekerjakan anak di bawah umur.

Sekarang, Rina sudah 17 tahun. Ia sudah tinggi, kira-kira 154 cm, dan badannya sudah lebih berisi dibanding pertama kali aku "menemukannya" dulu. Dadanya sudah menonjol, khas ABG. Tidak besar, tidak pula kecil. Kulitnya pun sudah mulai memutih karena ia lebih banyak bekerja di dalam kantor dan ruang studio. Aslinya, ia memang berkulit putih sehingga tak heran, wajahnya tampak lebih manis. Hidungnya tidak terlalu mancung namun bibirnya tipis.

----------PEMOTRETAN YANG TAK TERDUGA------------------

"Rina..."

sapaku pagi-pagi hari ketika kami siap untuk bekerja. Ia sedang wira-wiri merapikan peralatan fotografi dan mengumpulkan filter-filter lensa yang berserakan di lantai studio.

"Ya...", jawabnya sambil menghentikan langkahnya. "Ada apa kak..."

"Nanti ada pemotretan. tapi kali ini pemotretan yang nggak biasa. Kamu belum pernah kakak ajak untuk pemotretan seperti ini...."

"Hah, pemotretan apa kak...", tanyanya agak polos. "Ada yang minta foto pre wed lagi ya kak..."

"Nggak. lebih dari itu", balasku singkat. "Pokoknya ikut aja dan kumpulin peralatan yang udah kakak tulis di inventori kemarin". 

Rina pun mengangguk dan mulai membereskan alat-alat pemotretan. Mungkin dalam hatinya, ia bertanya-tanya. Foto apa lagi yang ingin dibuat oleh kakaknya yang ganteng ini ya...cieee...

Lokasi pemotretan hari ini dilakukan di sebuah area hutan lindung yang lebat, sekitar 2 jam perjalanan. Di dekat situ ada air terjun kecil yang cukup membangkitkan kesan romantis. Begitu kami berdua sampai di lokasi, Amanda, model yang kami sewa, sudah menunggu di situ. 

Kami menghampirinya yang sedang duduk menunggu di dalam mobil pribadinya, berusaha memperbaiki make up-nya yang kurang sempurna.

"Berangkat sendiri Nda...", sapaku sambil menjulurkan tangan untuk bersalaman. "Ku pikir kamu terlambat. Ternyata, model bisa on-time ya...", candaku.

"Kamu tuh yang tukang molorrr...aku udah setengah jam di sini kaliiii....", selorohnya.

Kami berdua tertawa. "Oh ya Nda, ini asistenku...si Rina", sambil memperkenalkan Rina ke Amanda. Mereka berdua berjabat tangan. "Rina...ini Amanda, model ngetop. Ia sudah muncul di sampul majalah ibu kota lho", kataku menjelaskan.

Rina hanya bisa melingkarkan bibirnya dan menjawab, "Oooo...".

"Okay Nda, kita mulai ya...". 

Amanda adalah foto model profesional. Badannya jelas indah dengan payudara besar, pantat yang berisi dan bodi yang perfect. Bibirnya tebal-sensual dan rambutnya terurai lembut. Matanya tajam serta dihiasi oleh maskara yang tebal dan alis yang rapi. Ia memang benar-benar model hebat.

Awalnya, pemotretan berlangsung seperti biasa. Namun seiring waktu, Amanda mulai berpose lebih seksi dan membiarkanku memotret kulit-kulit mengkilapnya sepanjang siang hari itu. Sesekali, aku melirik ke arah Rina. Ekspresinya masih tampak wajar. Sepertinya, Rina tidak terpengaruh dengan gaya-gaya seksi yang ditunjukkan Amanda. Ia tetap membantuku membawa perlengkapan dan alat-alat lighting. 

"Rin, kamu bawa keranjang yang aku suruh ambil dari studio kan?", tanyaku pada Rina yang dijawab dengan anggukan. Aku menyuruhnya mengambil keranjang itu dan meletakkannya di sampingku. Amanda tampak sibuk sendiri membenarkan make-up-nya.


"Siip Nda pemotretan siang ini", kataku sambil memasang lens cap ke lensa wide-angle-ku, "...Sekarang, ku tagih janjimu ya..."
"Oke deh Rick...KT kan?" katanya.

Aku menganggukkan kepala. 
Rina tampak tidak mudeng dengan apa yang kami perbincangkan. Tapi sebentar lagi ia bakal tahu. Dan aku amat penasaran dengan ekspresi wajah yang bakal ia munculkan di raut mukanya yang imut itu.

"Rick, nanti suruh asistenmu jaga bajuku ya...biar nggak kotor". 
"Beres deh...", jawabku sambil menengok ke arah Rina. 
"Rin", Rina menoleh. 
"Nanti baju Kak Amanda kamu taruh aja di keranjang ya. Jangan kotor lho ya...".

"siap bos...", Rina menjawab dengan penuh semangat. Tapi Rina tidak tahu kalau baju yang harus diletakkan di situ adalah baju yang saat ini sedang dikenakan Amanda.

Amanda pun melepas bajunya satu demi satu. Kaos, celana panjang ketat, hingga...BH dan celana dalamnya. Tubuh Amanda tanpa cacat, membuatku speechless. Payudaranya bundar dan kencang. Putingnya memang agak menghitam namun tetap nikmat dipandang. Amanda sengaja membiarkan rambut kemaluannya tetap lebat walaupun tepi-tepinya dipangkas untuk mengikuti bikini line yang akan sangat membantunya ketika ia harus dipotret dengan menggunakan pakaian dalam super minim. 
Amanda mengumpulkan bajunya menjadi satu.

Dan, aku menyuruh Rina mengambil baju-baju itu untuk ditumpuk rapi dalam keranjang sampai aku menyadari kalo Rina berdiri kaku seperti baru saja melihat hantu...

"Rin...", aku berusaha menyadarkannya. "Kok diem sih...ambil bajunya Kak Amanada". Amanda hanya tertawa kecil sambil menimbrung, "anak kecil kok kamu bawa sih Rick...hehehe".

Rina pun akhirnya beringsut maju, meraih baju yang disodorkan oleh Amanda. Langkahnya kikuk. Mungkin Rina malu.

Ini pengalaman pertama Rina mengikuti sesi pemotretan telanjang. Wajahnya memerah tersipu malu.

Selama satu jam penuh, aku memotret Amanda yang sudah bertelanjang bulat. Di kesunyian hutan dan romantisnya air terjun yang dingin, aku menyuruh Amanda untuk menunjukkan segala kemolekannya. Bahkan, momen-momen candid seperti sewaktu ia mendaki batu-batu di air terjun kecil pun tak aku lewatkan. Pantatnya yang bulat tampak sempurna ketika kaki-kakinya mendaki bebatuan.

Singkat kata, Aku, Rina, dan daun-daun yang lebat menjadi saksi akan pemotretan siang hari itu.

Rina masih kikuk. Tapi ia berusaha untuk sewajar mungkin. Sesekali aku menggoda Rina..."Husss...anak kecil nggak boleh lihat...", kataku. Rina tentu bukan anak kecil lagi. Ia sudah 17 tahun.


------------- IT IS RINA TIME --------------------

Sekembalinya ke studio foto, aku melirik Rina. Sepertinya, dari raut wajahnya, terlihat kalau ia belum percaya dengan sesi pemotretan yang barusan ia lihat. 

"Telanjangggg...??!!!, Oh No....", mungkin pikirnya seperti itu.

Tak tega ia dikuasai rasa penasaran yang menggebu-gebu seperti itu, akupun meraih lengannya dan menggiringnya masuk ke dalam ruang editing. 

"Sini Rin, kakak tunjukin sesuatu...". 
Rina mengekor dari belakang. Ruang editing bersebelahan dengan studio foto. Sengaja aku membuatnya tampak agak gelap supaya bisa membantuku berkonsentrasi saat mengoreksi foto.

Tak berapa lama, Aku pun menyalakan Mac, dan mulai membuka folder-folder yang kutandai dengan kode "KT". 

"Tadi yang kamu lihat itu foto-foto KT, Rin", kataku mengawali pembicaraan. "Kita-kita yang kerja di dunia fotografi nyebut foto telanjang seperti tadi dengan istilah "KT", alias kategori terbatas". 

Aku menjelaskan. Rina duduk di kursi yang telah aku sediakan, di sisi kananku. 

Lantas, di layar monitor muncul gambar gadis-gadis model belia yang cantik-cantik serta seksi. Aku buka software slide show dan aku membiarkan foto-foto itu muncul dalam format full screen di layar monitor, dan setiap 10 detik sekali foto-foto itu saling berganti satu dengan lainnya. 

Rina menatap dengan serius ke arah layar monitor. Tangannya menyangga dagunya namun ia sangat penasaran. 

"Ini Dewi...", tunjukku pada foto sosok seorang gadis berpakaian casual kotak-kotak yang cerah di layar monitor. Rambutnya disisir rapi dan wajahnya sangat innocent. "Kami kenalan waktu hunting di sebuah kota..."

Foto Dewi muncul di layar monitor satu demi satu. Mula-mula, Dewi berpakaian lengkap. Ia berdiri tegak lurus sambil membawa bunga kecil. Lantas, foto-foto pun berganti terus, menyajikan pose-pose yang semakin menantang setiap 10 detik. Pakaiannya yang menyatu atasan-dan-bawahan, mulai terbuka. Kancing-kancing pakaiannya tak lagi saling bertautan. Kini, Dewi yang mengenakan BH dan celana dalam putih tampak terlihat jelas di layar monitor. Tubuhnya yang putih seperti mengkilat di hadapan kami. 

Aku berkali-jali membenarkan posisi dudukku . Terus terang, aku pun tegang. Terlebih, detak jantungku mulai melaju kencang ketika foto di layar monitor sudah mulai menunjukkan si model setengah telanjang, dengan payudara yang terekspos tanpa ada sesuatu yang menutupinya.

"Kalo udah besar, payudaramu nanti bakal seperti itu lho...", tunjukku ke layar monitor sambil menggoda Rina. Payudara Dewi jelas besar. Ia model profesional. Putingnya coklat namun terawat. Besar payudara kanan dan kiri cukup proporsional meskipun sepertinya yang sebelah kiri sudah mulai mengendur.

"Ah, masa sih...", belalak Rina tak percaya. Ia agak tersenyum-senyum simpul. Sesekali, ia kagum dengan foto yang ia lihat. Dari mulutnya, keluar kata-kata singkat seperti "Hah, wow, ih, dan sebagainya", perpaduan antara malu, kagum, dan mungkin kepingin kali ya....

Lalu, di foto keseratus, Dewi, model yang terlihat di layar monitor, menurunkan celana dalamnya. Kemaluannya sungguh membuatku terangsang. Padahal, aku sudah melihat foto itu ratusan kali. Mungkin gara-gara Rina ada di sampingku.

"Heh...", sikuku menyenggol lengan Rina. "Rina pun agak kaget dan mulai meluruskan punggungnya sambil tertawa kecil..." 
"Serius amat sih...", godaku...

Kami tertawa berdua. Dewi, si model cantik itu sudah telanjang bulat dengan menampilkan payudara yang elok dan kemaluan yang indah. Tak ada bulu di sekitar kemaluannya. Yang ada hanya belahan vagina yang amat jelas. 

"Kok nggak ada rambutnya sih...", tiba-tiba Rina bertanya memecah keheningan. 
"Emangnya kenapa? Punyamu lebat ya...", sindirku. 
"Eh, nggak...", Rani berusaha mengoreksi kata-katanya., "Maksudku tuh...kan harusnya kalo udah gede mesti lebat itunya".

"Oh...seperti Amanda ya", kataku singkat. "Mungkin Dewi senang kalo ia cukur rambutnya. Mungkin biar rapi". 

Rina mengangguk.

Di ruang editing sangat sunyi. Kami begitu serius melihat foto-foto telanjang itu. 

"Rin...", mulutku bersuara memecah kesunyian. 
"...Sepertinya kamu juga oke lho kalo difoto seperti itu..."

Rina pun membelalakkan matanya. Matanya memang tak terlalu besar. Tapi wajahnya menjadi begitu innocent seperti bayi yang sedang bangun pagi. 

"Telanjang...??? Oh tidak-tidak-tidak", jawab Rina segera sambil mengebaskan tangannya dan cekikikan kikuk. 

Aku menangkap lembut tangannya yang terkibas-kibas menandakan tidak mau itu dan menurunkannya pelan-pelan ke atas meja. Sampai Rina mulai mengendalikan diri, aku pun berkata:

"Ayolah, aku tau kamu juga bakal mau..."
Rina tak habis-habisnya cekikikan sendiri.

"Tadi kakak amati, sepertinya kamu membayangkan kalau kamu yang jadi modelnya. Iya, kan", tebakku sambil menggodanya. Aku ingin mendengar responnya dengan baik.

"Ah masa sih...Nggak kok", balasnya.

"Nggak apa Rin?...nggak keberatan kan," jawabku tak mau kalah.

"Malu kak...Rina kan bukan model", sanggahnya.
"Semua juga bilang malu kok Rin. Dewi yang kamu lihat tadi juga bilangnya malu. Tapi kalo ngerasa dirimu itu cantik, pasti kamu mau menunjukkan kecantikanmu ke orang lain kan? Nah, kamu bakal kelihatan cantik kalau kamu mau tunjukin semuanya..."

Rina sudah bisa mengontrol diri. Ia seperti tampak berpikir. 

"Mau ya Rin...?", bujukku yang kesekian kali. "Kamu bakal tampil perfect kok..." tanganku sudah berani mengelus rambutnya.

"Tapi kakak janji lho...", kata Rina yang tampaknya sudah berani memerintah.

"Janji apa Rin? Kasih kenaikan gaji...", tawarku.

"Bukan itu...Janji kalo fotonya nggak boleh disebar. Cuma kakak yang boleh lihat", katanya sambil menudingkan jarinya ke arahku.

"Deal...", jawabku sambil mengaitkan jariku ke jarinya seperti orang yang menyepakati sesuatu.

-------- PEMOTRETAN PUN DIMULAI ---------------------------

Tiga tahun aku menunggu saat-saat ini. Selama itu, aku penasaran dengan keindahan tubuh Rina. Tapi, aku tidak berani menelanjanginya tanpa alasan. Sekarang, saat yang tepat untuk mengamati seluruh bagian tubuh Rina tanpa masalah.

Supaya Rina rileks, aku memotretnya dalam pakaian yang lengkap terlebih dulu. Atasan kemeja putih dan bawahan memakai rok sopan yang berenda-renda bagian bawahnya. Mungkin 10-20 shoot. Ia harus aku arahkan karena belum memiliki pengalaman bergaya sama sekali. Kode-kode fotografer seperti chin up dan angkat kaki, angkat siku, dan seterusnya, sudah mulai aku perkenalkan satu demi satu.

Jelas ada perbedaan antara memotret model profesional dan memotret model dadakan. Ekspresi wajah Rina masih terlihat kikuk dan posenya pun teramat kaku seperti robot yang kekurangan oli. Tapi yang penting, aku ingin melihatnya tampil perfect tanpa sehelai benang pun.

"Rin...baju yang atas dilepas yuk". 

Rina pun melepas kaitan-kaitan kancing bajunya dan mencopot kemejanya perlahan-lahan. Ia mengenakan BH putih yang aku belikan kala ia berulang tahun ke-17 beberapa bulan sebelumnya. Lehernya bersih dan perutnya rata dengan pusar lucu yang tampak indah. Dadanya memang tidak begitu besar tapi tampak pas di dalam BH putih itu.
Tak henti-hentinya aku mengarahkan Rina untuk berpose ini dan itu sambil memujinya, "beautiful!".

Tangan Rina dimasukkan ke dalam BH sambil meremas payudaranya--berkacak pinggang sambil menatap tajam ke depan kamera--menangkat kedua tangan tinggi-tinggi sehingga otot perutnya tertarik ke atas--dan pose-pose lainnya.


"Oke Rin keren..."
Rina mengambil nafas panjang. 

"Roknya kamu angkat gih...", perintahku dengan lembut.
Rina mengangkat roknya. Tapi dasar anak lugu, ia hanya mengangkat 10 centimeter di atas lutut. "Gini kak...", katanya tanpa dosa.

"Bukan gitu Rin...angkat setinggi-tingginya."
Ia pun menurutiku. Roknya terangkat tinggi-tinggi sehingga celana dalam putihnya terlihat jelas. Sayang, belahan kemaluannya tidak njeplak gara-gara celana dalamnya kurang ketat. Tapi, biarlah...

Aku mulai memotretnya dalam beberapa gaya. Aku suruh ia menungging dan juga berbaring di lantai sambil mengangkat roknya tinggi-tinggi. Pantatnya seperti bukit yang indah. AKu baru sadar kalau Rina memiliki kaki yang cukup jenjang. 

"Sekarang saat yang aku tunggu-tunggu nih...", pikirku.

Sambil mengganti lensa kamera dengan lensa 50mm, aku suruh Rina untuk minum dulu dan menyeka keringatnya. Lampu studio cukup panas. Rina pun tampak mengebas-kebaskan tangannya untuk mendinginkan diri walaupun di ruang studio sudah ada AC yang menghembus pelan.

"Rin...sekarang lepas rokmu dan BH-mu yuk..."
"Tapi kak, bener lho...fotonya jangan disebar...", tawarnya dengan nada memelas.

"Iya deh...". Yuk ke tengah studio lagi. Kakak mau potret gadis tercantik sedunia..."

Rina tertawa di pinggir studio sambil perlahan-lahan melepas kaitan BH-nya dengan kedua tangannya. Payudara yang imut pun muncul dari balik BH putih itu. Sungguh imut. Tidak terlalu besar tapi kencang. Putingnya pun masih berwarna coklat lembut.

Sesekali aku menelan ludah. Setelah roknya dilepas, Rina berjalan ke tengah studio untuk dipotret. Ia sudah setengah telanjang. Tubuhnya hanya terbalut oleh celana dalam putih yang sebentar lagi, nasibnya juga sama dengan BH dan rok yang ia "campakkan" ke tepi studio.

Kali ini Rina sudah mulai agak rileks. Heran juga, mengapa setelah telanjang, cewek-cewek malah mulai tampak rileks, pikirku. Aku pun mulai memotretnya dari berbagai sudut dan ekspresi. Sesekali, "gunung kembar" itu aku potret secara khusus dari samping supaya tampak terekspos sempurna.

"keren Rin...", pujiku. "Kamu bukan model tapi tetap cantik..."
Tak habis-habisnya aku menyemangati Rina. Rina pun tertawa menanggapi pujianku itu.

Aku berusaha tak menyentuh, apalagi meremasnya, karena itu merupakan pelanggaran kode etik fotografer. Sebaliknya, aku berusaha profesional walaupun dalam batinku, aku ingin sekali Rina "membayar" jasa-jasaku karena merawatnya dengan cara mengijinkanku menghisap payudaranya. Tapi ah, aku tak mau.

Sekitar setengah jam aku mengekspos payudara yang ranum itu.

Setelah puas, aku pun menyuruh Rina berdiri tegak. 

"Okay Rin...it is the time", kataku sambil menjentikkan jari.
Rina pun tahu maksudku. Ia berdiri tegak lurus menghadapku dan dua tangannya melorotkan celana dalamnya itu ke bawah. 

Sadar kalau aku sedang mengamatinya dengan serius, Rina melihatku sedetik dan langsung duduk berjongkok tanpa dikomando. Tangannya mengibas-ibas dan ia tertawa kikuk..."maluuuu akuuuu", serunya...

"Nggak pa-pa kok Rin. Jangan malu-malu, tubuhmu bagus kok...", hiburku.
"Yuk berdiri lagi..."

Beberapa saat ia duduk berjongkok. Kadang-kadang, di sela tawanya, ia menyembunyikan wajahnya dengan membungkuk. Hmmm, seperti bayi yang baru lahir, batinku.

Setelah menyeka rambutnya ke belakang, Rina berdiri perlahan-lahan. Tapi kedua tangannya menutupi dada dan kemaluannya. 

"Oke ya Rin, aku potret seperti itu dulu." Aku pun mulai memotret walaupun Rina masih malu-malu. Tapi, ekspresinya yang malu itu justru semakin menambah gairahku.

"Rin...pegang dong kedua pundakmu. Pelan-pelan aja kalo kamu malu..."

Dengan tersipu, kedua tangannya bergeser pelan, membiarkan area pribadinya tak tertutupi lagi. Rina memegang kedua pundaknya. Jelas, ia tak punya lagi senjata untuk menutupi dada dan kemaluannya. 

"Rina, kamu benar-benar cantik", pujiku dalam-dalam. Yang terlihat di hadapanku bukanlah anak yang tiga tahun lalu aku lihat. Ia sekarang sudah menjadi seorang gadis yang manis dengan bulu kemaluan yang lebat. Dari rambut sampai ujung kaki aku mengamatinya. Wajahnya yang manis dan kikuk--perutnya yang rata dan payudaranya yang imut--serta daerah kemaluan yang membuat jantungku mau copot. 

Ia tak menurunkan lagi tangannya untuk menutupi bagian pribadinya itu. Seolah-olah mengijinkanku untuk menatapnya lebih lama. Aku pun memotret-motret tubuhnya yang telanjang itu dengan sigap. 

Puas dengan bagian depan tubuhnya, aku suruh Rina untuk membalik badan. Ia pun menurut. Pantatnya terekspos jelas dengan sempurna. Kencang dan bulat. Belahan pantatnya agak menghitam dibanding bagian lainnya. Namun, bentuk pinggulnya menggodaku. 

Aku menyuruhnya berpose dalam beragam gaya, mulai dari berdiri sopan hingga meremas dada, melompat riang, dan berekspresi sensual. Hari ini, aku benar-benar melihat Rina dalam nuansa yang berbeda. Itu benar-benar menghanyutkanku. 

Lalu, ia pun aku suruh mengangkang. Kemaluannya yang merah muda tampak sedikit basah. "Kamu terangsang ya Rin", godaku. "Hmmm...enggak tau deh kak", balasnya lugu.

Aku pun tersenyum simpul. "Kemaluanmu oke banget. Menggemaskan. Pingin kakak...",
"jangan disentuh kak...", tahannya. Sepertinya Rina tahu kalo aku pingin menyentuh rambut-rambut kemaluannya yang lebat itu.

"Oke Rin, sekarang nungging yuk..."
Pantatnya pun terbelah. Lubang pantatnya menutup rapat membentuk guratan-guratan kulit yang eksotik. Tepi-tepi belahan pantatnya terdapat rambut-rambut dari area kemaluannya. Aku pun memotret-motret bagian itu. Indah sekali.

Pemotretan berlangsung selama 2 jam. Aku sudah memiliki banyak sekali koleksi foto telanjang si Rina. Seolah-olah aku menang dari Rina karena tidak ada semilimeter pun bagian Rina yang belum aku lihat. Dada, kemaluan, lubang kencing, lubang pantat, sampai bibir-bibir kemaluannya yang ranum.

Rina pun sudah tampak kelelahan. Aku memberinya minuman kesegaran sambil mengusap keringatnya menggunakan sapu tangan kecil. Semua bagian badannya aku usap dengan lembut.

Rina, kamu benar-benar gadis yang cantik. Gumamku. Aku beruntung menemukanmu 3 tahun yang lalu.

Akhirnya, dua tangan Rina aku pegang erat-erat. Dalam keadaan telanjang, Rina menatapku. Lalu, aku mendaratkan bibirku di pipinya sambil berkata lembut.

"Terima kasih ya Rin... kakak benar-benar beruntung bisa mengenalmu".

Rina tertawa lembut. Ia masih tersipu. Ia pun mengangguk dan aku menyuruhnya mengenakan pakaian lagi. 

sumber:www.krucil.com

No comments:

Post a Comment