Di rumah, saya tinggal dengan kedua
orang tua dan dua orang adik perempuan, kedua orang tua saya bekerja dan
kedua adik saya masih duduk dibangku sekolah, sedangkan saya kuliah di
salah satu universitas terkenal di Jakarta.
Nama saya Agus (bukan nama asli). Kami tinggal disebuah komplek
perumahan yang tidak begitu elit di Bogor. Rumah kami saling berdekatan
dengan tetangga sebelah dan kami cukup mengenal satu sama lain sehingga
terkadang kami saling membantu, mereka datang kerumah atau sebaliknya.
Kejadiannya lima tahun yang lalu, suatu ketika tetangga saya pindah
rumah. Tepatnya berselang dua rumah dengan rumah saya. Dalam beberapa
hari rumah itu kosong dan yang tersisa hanya sebuah lampu bohlam yang
terus menyala di teras rumahnya. Saya tahu karena rumah itu selalu saya
lalui kalau pulang kerumah. Persisnya satu minggu setelahnya, Rabu siang
hari, disebelah rumah agak sedikit berisik. Saya kebetulan sedang tidak
kuliah penasaran apa yang terjadi disana. Ternyata ada yang mengisi
rumah itu. Saya hanya menonton mereka yang sedang memindahkan
barang-barang kedalam rumah. Setelah saya tanya ternyata rumah itu
dibeli oleh seorang wanita yang rencananya rumah tersebut akan ditempati
oleh saudaranya.
Sore hari keesokan harinya ketika saya hendak
pulang, seperti biasa saya melewati rumah itu. Terlihat seorang wanita,
umurnya berkisar 30 tahunan. Saya secara spontan menemuinya dan
memperkenalkan diri saya. Kurang lebih lima menit saya berbicara
dengannya. Namanya Endang, walau lebih tua dari saya tetapi dia tidak
mau dipanggil “Teteh”. Tapi saya bersikeras untuk tetap memanggilnya
dengan sebutan itu. Bentuk tubuhnya lumayan “Bahenol”, wajahnya manis
dan murah senyum, dan dari situ saya tahu bahwa dia hanya berdua dengan
seorang pembantu rumah tangga. Beberapa hari selanjutnya keluarga kami
sudah cukup mengenal teh Endang begitu juga para tetangga yang lain.
Suatu hari saya sedang tidak kuliah jadi saya santai dirumah, kebetulan
saya dirumah sendiri, teh Endang datang kerumah ingin meminta
pertolongan.
“Puunteen..”, katanya dengan suaranya yang halus dan logat daerahnya yang kental.
“Eh.. teh Endang, ada apa ya?”, sahutku.
“Lho Agus ngga kuliah?”, tanyanya penasaran.
“Engga teh.., engga ada kuliah hari ini, ada apa teh?”, tanyaku lagi.
“Agus bisa bantu Endang ga?”, katanya dengan sedikit canggung.
“Kalo bisa saya bantu kenapa engga teh!”, kataku untuk meyakinkan dia.
“Bener nih? di rumah banyak kursi yang masih berantakan.. jadi Endang
minta tolong diatur biar ga berantakan.. soalnya ngehalalangan jalan”,
katanya dengan memelas.
“Kan Agus gede badannya jadi Endang minta tolong ya.. enteng koq”, tambahnya sambil menepuk pundakku.
“Masa suka pitnes ga kuat sih!”, katanya sambil tersenyum manis padaku.
Melihat senyuman itu sebagai seorang laki-laki saya tertantang dan saya
langsung berkata “Ya” walau dalam hati dan saya yakin semua laki-laki
apabila mengalaminya akan sama reaksinya dengan saya.
“Iya deh teh, saya bantu..”, jawabku dengan sedikit kasihan melihat raut mukanya.
“Bener nih?”, katanya untuk meyakinkan saya.
“Ya udah kalo ga mau mah teh..”, kataku untuk memancing dia.
“Eh.. Agus ga marah kan, soalnya takut ganggu kamu, yuk..”, katanya sambil mengajakku kerumahnya.
Setelah sampai dirumahnya saya heran karena semua perabotan rumahnya
telah tertata rapih. Saya merasa tertipu dan agak menyesal atas kejadian
itu. Tetapi saya melihat sebuah lukisan yang belum tergantung. Lukisan
itu lumayan besar dan saya perkirakan memang agak berat untuk diangkat
oleh teh Endang.
“Aduh maap ya Gus, bukannya Endang boong sama
Agus.. cuma emang lukisannya mau digantung berat sekali.. jadi Endang
bilang kursi bukannya lukisan.. ga pa pa kan Gus?”, katanya sambil
menjelaskan hal itu.
“Ooh.. ya ga pa pa sih teh, cuma teteh bilang aja.. ga usah malu-malu.. kita kan tetangga harus saling tolong”, kataku.
Lalu teh Endang menyerahkan beberapa buah paku, palu, dan tidak lupa lukisan yang berat itu. Lalu teh Endang masuk kekamarnya.
Saya mulai bekerja dan tiba-tiba teh Endang keluar sambil berkata, “Gus
maap ya Endang tinggal dulu, soalnya ada perlu sebentar, kalo perlu
apa-apa tinggal minta si Yuyun aja yah”, katanya.
Dari situ saya baru tahu nama pembantunya.
“Nanti Endang kasi oleh-oleh deh buat Agus”, Tambahnya sambil tersenyum keluar rumah.
Lalu dia berteriak kepada pembantunya bahwa dirumah ada saya sedang
memasang lukisan itu dan dia pun pergi sambil membawa mobil sedannya.
Setelah pembantu itu menutup pintu garasi rumah lalu ia masuk dan menemuiku.
“Agus maaf ya, ga bisa saya temenin soalnya banyak yang musti dikerjain
nih.. kalo perlu sesuatu panggil saya aja yah!”, katanya.
“Eh.. iya Mbak, silahkan..”, kataku sambil memperhatikannya.
Dia berbalik lalu berjalan ke arah kamarnya didekat ruang dapur. Saya
perhatikan memang umurnya agak sedikit lebih tua dari saya dan bentuk
tubuhnya agak montok dan berisi. Setelah beberapa lama selesai juga
lukisan itu tergantung di dinding. Saya mulai merasa haus. Saya panggil
si Yuyun tetapi dia tidak menyahut. Lalu saya menuju dapur dan ternyata
ada kulkas di sana. Ketika selesai minum saya mendengar seperti suara
percikan air dan ternyata memang dari kamar mandi. Si Yuyun memang
sedang mandi. Kemudian tidak tahu dari mana datangnya, saya mulai
penasaran ingin mengintip si Yuyun. Saya membayangkan tubuh Yuyun yang
tadi masih memakai pakaian lalu saya membayangkan bagaimana tubuhnya
apabila telanjang bulat. Badan saya langsung memanas dan gemetar sambil
berusaha mencari celah untuk mengintip. Tetapi sayang sekali tidak ada
satu celah pun, kemudian saya berfikir untuk melihat Yuyun berganti
pakaian dimana lagi selain di kamarnya.
Saya mencari kamarnya
dekat dapur. Saya mendapatkan hanya satu kamar disitu dan saya
berkesimpulan bahwa itu memang kamarnya. Saya masuk kamar itu lalu saya
mencari tempat yang bagus untuk bersembunyi. Akhirnya saya bersembunyi
dibawah kasurnya. Beberapa menit kemudian Yuyun masuk kamar dan mengunci
pintunya. Pertama hanya terlihat kedua kakinya saja lalu tiba-tiba
terlihat handuknya yang terbelit di badannya dilepasnya, karena
handuknya seperti berputar-putar mengelilingi badannya lalu bunyi
seperti sebuah benda yang dilemparkan ke kasurnya. Saya yakin si Yuyun
dalam keadaan telanjang. Dengan nafas yang memburu saya berusaha
mengintip dari bawah kasurnya.
Setelah berusaha saya melihat
badannya yang membelakangi saya sedang memilih pakaian dalamnya. Saya
hanya melihat bagian (maaf) pantatnya saja yang besar dan padat juga
sedikit bagian payudaranya dari arah belakang. Payudaranya memang besar
sekitar 36B tetapi saya yakin lebih besar dari itu. Lalu dia agak
sedikit menungging dan dari belahan pantatnya terlihat bulu-bulu halus
mengelilingi vaginanya yang hanya terlihat sebagian dari belakang.
Vagina itu terjepit oleh pantatnya sehingga hanya berbentuk garis hitam
saja dan kebetulan bulu-bulu yang mengelilinginya tidak banyak.
Tiba-tiba dia jongkok lalu terbukalah vagina Yuyun. Saya yang dari tadi
memperhatikannya sudah tidak kuat lagi sepertinya saya ingin menyentuh
dan memegang seluruh tubuh Yuyun. Badannya yang sintal serasa memanggil
saya untuk menyentuhnya. Penis saya serasa ingin bergerak bebas. Penis
saya sudah tegang dari tadi tetapi terasa sakit karena terhalang celana
dan tertahan oleh ubin. Dalam hati saya ingin keluar dari tempat
persembunyian lalu saya menyetubuhinya hingga saya puas. Apakah saya
berani?
Saya mencoba bertahan untuk tidak melakukannya tetapi
apa boleh dikata keinginan saya untuk berbuat lebih besar. Lalu saya
kaluar secepat mungkin lalu saya memeluk badan Yuyun dari belakang
sambil mulutku menciumi lehernya, tangan kanan saya meremas payudaranya,
dan tangan kiri saya mulai membelah vaginanya dengan dua jari dan
memasukan jari tengah ke dalam lubang vaginanya. Yuyun kaget dan sudah
terlambat untuk menghindar dari perlakuan saya.
“Eh.. siapa.. eehh.. ja.. ngan.. aahh.. oohh.. oohh..”, suaranya sambil berusaha membalikan badannya.
“Kamu sexy.. mmhh.. ssllrrpp.. mmhh.. jangan takut.. gue bikin lu puas
Yun.. mmhh.. sslrrpp..”, bisikku sambil terus mencumbunya dan
menggerayangi seluruh tubuhnya.
“Ku.. rang.. ajar.. ehh.. mmhhehh..
oohh.. aughh.. le.. pas.. in.. haahh.. aahh.. mmhh.. aahh..”, katanya
sambil terus mencoba membalikan badannya.
Dari desahannya saya
muai yakin bahwa Yuyun sebentar lagi akan menjadi santapan yang lezat
untuk memenuhi nafsu birahi saya. Terlihat dorongan Yuyun sudah
mengendor dan yang terdengar hanya desahannya saja yang membuat saya
makin bernafsu. Setelah Yuyun lemas tak berdaya seluruh tangan saya
lepaskan dari badannya lalu saya membopongnya ketempat tidurnya. Setelah
badannya saya rebahkan ditempat tidur saya melihat Yutun sudah pasrah
dan terlihat air mata yang keluar dari matanya. Sepintas saya merasa
kasihan tetapi saya sudah tidak dapat berfikir panjang lagi melihat
badan yang sudah telanjang bulat dan pasrah ada didepan saya dan siap
untuk dinikmati.
Lalu saya membuka seluruh pakaian dan sayapun
telanjang sudah. Lalu saya mendekati badan Yuyun dan menindihnya lalu
saya cium seluruh wajahnya. Kedua tangan saya memegang kedua tangannya
sehingga penis saya dan vaginanya hanya bersentuhan dan bergesekan. Dari
vaginanya sudah banyak cairan yang keluar yang menandakan dia sudah
terangsang oleh perlakuan saya tadi. Bibirnya saya cium dan langsung
saya kulum sihingga lidah saya secara leluasa masuk kedalam mulutnya.
Saya tidak menyangka ternyata Yuyun membalas ciuman saya tadi sehingga
kami bergelut dalam ciuman yang sangat bernafsu. Lidah kami berdua
seakan menyatu dan berusaha untuk mendapatkan apa yang kami cari,
KEPUASAN..
Setelah kami berciuman, kedua tangan saya langsung
saya arahkan kearah ketiaknya sambil sedikit mengelitiknya. Bibir saya
secara liar menjalar ke payudaranya secara bergantian.
“Oohh.. eehh.. mmhh.. Gus.. aahh.. aahh.. aahh..”, desahnya.
“Gimana Yun enak kan?”, tanyaku padanya.
“Ee.. nn.. aakk.. ahh.. mmhh.. Gus.. ja.. ngan.. brenti.. aahh.. oohh.. aahh..”, desahnya dengan agak sedikit berteriak.
“Ehh.. Yun.. jangan teriak-teriak dong, nanti banyak yang denger..”, kataku sambil melihat sekeliling kamar.
“Abis.. ennakk.. eennaakk.. enn.. eenn.. nnaakk..”, desahnya lagi tetapi sekarang sambil berbisik.
Setelah Yuyun berkata demikian badannya terasa terangkat dan pinggulnya mendorong-dorong badan saya.
“Eehh.. eehh.. mmhh.. Gus Yuyun mau pipis.. adduuhh.. aahh.. pipiss.. ppiiss.. mmhh.. pi.. ppiiss..”, desahnya lagi.
Setelah berkata demikian terasa sekali selangkangan Yuyun basah total,
seperti ada cairan yang lebih banyak keluar dari vaginanya. Ternyata
Yuyun orgasme yang kesekian kalinya. Saya tidak tahu apakah dia sudah
orgasme sebelum ini. Cairan itu menjalar keseluruh bagian
selangkangannya lalu menjalar ke pahanya dan juga berkumpul dipantatnya.
Lalu badannya bergetar dan terdiam sejenak sepertinya ingin merasakan
kepuasan yang ada saat orgasme.
Sesudah itu ia tersenyum manja kepadaku dan berkata, “Gus.. kamu dah belum?”.
“Ya belum dong, orang kontol gue aja belum ngerasain memek Yuyun..”, kataku sambil memelintir puting payudaranya.
“Ahh.. ehhmm.. ya udah cepetan masukin Gus.. tapi cepet ya takut Bu
Endang dateng..”, katanya sambil membuka kedua pahanya dan melebarkan
vaginanya yang sudah basah.
Lalu saya arahkan penis saya kearah
vagina Yuyun yang telah merekah. Pada saat penis saya menyentuh bibir
dalam vaginanya, terdengar bunyi klakson mobil. Ternyata Teh Endang
pulang. Dengan cepat kami berdua berpakaian dan Yuyun terlebih dahulu
keluar kamar dan segera membukakan pintu garasi.
“Yun, kamu jangan kasih tau Teh Endang ya kalo kita berdua..”, kataku kepadanya.
“Tenang aja Gus, Yuyun mulai suka koq, abis Yuyun udah lama ga gituan..”, katanya setelah memotong perkataanku tadi.
Saya keheranan setelah mendengar perkataan Yuyun bahwa ia “Sudah lama
ga gituan”. Sambil keluar kamar saya masih berfikir tentang perkataan
itu. Teh Endang masuk ke rumah dan menemuiku.
“Nah kan gampang Gus, tuh lukisannya udah selesai, makasih ya..”, kata Teh Endang sambil tersenyum manis padaku.
“Nih buat kamu..”, sambil menyerahkan sesuatu padaku.
“Wah jadi ngerepotin Teh Endang nih.. he.. he.. he.. makasih..”, kataku.
Ternyata sepotong besar kue Black Forest. Dalam hati saya berkata, “Tau aja dia kesukaan gue..”.
“Endang tau.. kamu kan badannya gede.. jadi doyan makan dong”, katanya.
Setelah itu saya berpamitan pulang walau saya ditahan untuk tidak
segera pulang oleh Teh Endang. Dengan alasan sudah agak sore, akhirnya
saya diijinkan pulang.
“Kapan-kapan mainlah kemari Gus, kita ngobrol trus ngegosip dulu”, katanya.
“Iya Teh Endang, saya suka koq main kemari”, jawabku sambil menatap Yuyun yang hanya tersenyum.
Pada saat saya melangkah keluar gerbang rumah, Teh Endang memberikan
senyum manisnya padaku dan tiba-tiba Yuyun berkata, “Makasih ya Gus..”.
Saya hanya tersenyum karena ucapan Yuyun tadi mengandung arti yang
hanya dimengerti oleh kami berdua saja. Saya meninggalkan rumah dengan
sesuatu yang mengganjal, yaitu kepuasan yang menggantung karena saya
belum merasakan kepuasan yang seutuhnya dan hilang begitu saja di depan
mata, eh maksud saya di atas ranjang..
*****
Suatu hari, saya lupa harinya, saya sedang tidak kuliah juga. Saya bermain kerumah Teh Endang lagi.
“Permisi..”, salamku. Sampai lima kali tidak ada yang menyahut. Dalam
hati saya bilang apabila yang keenam kali tidak ada yang menyahut maka
saya akan pulang saja.
“Permisi..”, kataku lagi dengan agak sedikit keras.
“Iya.. Iya.. tunggu sebentar..”, terdengar suara Yuyun samar-samar.
Yuyun berlarian menuju pagar dan membukakan pintu.
“Tadi saya udah denger koq, saya baru selesai mandi trus buru-buru deh..”, katanya.
Memang terlihat rambutnya yang masih basah dan tercium wangi sabun mandi yang masih wangi.
“Maaf Yun, eh Teh Endang ada ga?”, tanyaku sambil masuk kedalam rumah.
“Tadi Bu Endang pergi, katanya mau ketemu temannya.. gitu”, jelasnya.
“Agus mau ketemu Teh Endang apa aku?”, katanya lagi.
“Ngapain ketemu kamu Yun, rugi..”, kataku sedikit bercanda.
“Ah kemaren aja cuma ditongengin sedikit aja udah kaya orang kemasukan setan gerayangin badan saya..”, katanya.
“Iya sih, tapi saya lagi ga mut ah, mau ngobrol aja..”, kataku.
Setelah berbicara panjang lebar dengan Yuyun, saya tahu banyak tentang
dia. Yuyun ternyata janda tanpa anak. Dia kawin muda karena dijodohkan
oleh kedua orangtuanya. Suaminya di desa kawin lagi dengan wanita lain.
Mendengar itu saya jadi mengerti semua. Ketika saya tanya tentang Teh
Endang ternyata juga janda dan sudah menikah dua kali. Pada perkawinan
pertama Teh Endang kawin dengan bule keturunan Australia tetapi
ditinggal suaminya kembali ke negaranya dan tidak ada kabar. Pada
perkawinan kedua Teh Endang menikah di Bandung tetapi mereka bercerai
atas kemauan Teh Endang karena mantan suaminya itu telah memiliki istri
terlebih dahulu. Juga tanpa dikarunuai anak. Pada perkawinan inilah
Yuyun baru ikut Teh Endang di Bandung.
Selama Yuyun menjelaskan
tentang hal tersebut, saya baru sadar bahwa setelah saya perhatikan
badannya ternyata terlihat samar-samar puting payudaranya yang hitam.
Ternyata Yuyun tidak menggunakan BH karena tadi tergesa-gesa membukakan
pintu untuk saya. Saya jadi bertanya-tanya jangan-jangan Yuyun tidak
Memakai CD juga. Lalu saya mencari cara untuk mengetahuinya. Saya akan
membuat dia berdiri.
“Yun, ambilin minum dong, air putih aja deh..”, kataku.
“Oh Iya lupa.. tunggu ya”, katanya sambil bergerak menuju dapur.
Yuyun jalan membelakangi saya dan ternyata memang benar Yuyun tidak
memakai CD karena dari belakang terlihat belahan pantatnya dengan pantat
yang besar. Saya langsung terangsang. Saya ikuti ke dapur. Pada waktu
Yuyun membelakangi saya, langsung saya peluk dia. Saya langsung meremas
kedua payudaranya dari belakang dan menciumi lehernya sambil menggesekan
penis saya yang masih terbungkus celana ke belahan pantat Yuyun.
Yuyun kaget tetapi dia membiarkan saya. Ia malah berpegangan pada meja
dapur dan agak sedikit membungkuk. Tangan Kiri saya langsung turun
membuka bagian bawah dasternya dan menyusup diantara kedua pantatnya
untuk mempermainkan vaginanya yang masih kering. Wangi sabun dibadannya
masih terasa dan membuat saya bertambah nafsu.
“Ahh.. mmhh.. Gus.. ka.. mu.. dah.. mau ya.. eehh.. eehhmm.. terus.. aahh.. terr.. rruuss.. eehhee.. mmhh..”, desahnya.
Terasa vaginanya sudah mulai basah dan licin. Langsung jari tengah saya
susupkan kedalam lubang vaginyanya. Saya buat keluar masuk secara
perlahan.
“Aahh.. ennaak.. mmhh.. ennakk.. Gus.. terus.. cepet.. cep.. pet.. aahh.. aahh..”, desahnya.
Setelah itu badan Yuyun terasa menegang dan agak mendesis.
“Gus.. aahh.. pipis.. aahh.. pi.. pis.. iyaahh.. oohh..”, desahnya
sambil menjepit jariku dengan kedua belahan vaginanya dengan bantuan
kedua pahanya. Yuyun orgasme yang pertama kali.
Setelah itu
langsung saya balik badannya dan menaikan badannya ke atas meja dapur.
Saya hanya memelorotkan celana saya agar penis saya keluar dan ternyata
sudah tegak dan keras. Saya ambil kondom dari dompet dan langsung
memakainya. Setelah itu saya langsung mengarahkan penis saya ke belahan
vaginanya yang telah basah. Perlahan tapi pasti penis saya masuk
seluruhnya ke dalam vaginanya. Memang mudah karena vaginanya sudah licin
dan Yuyun sudah tidak perawan lagi tetapi tetap saja membuat saya
merem-melek dibuatnya. Lalu saya diamkan penis saya di dalam vagina
Yuyun yang tertancap dalam. Lalu saya mengerayangi seluruh muka,
payudara, putingnya sampai meremas-remas kedua pantatnya yang besar.
Yuyun hanya bisa meremas kedua pantat saya dan agak sedikit mencakar.
Sakitnya sudah tidak saya hiraukan lagi.
“Oohh.. eenak.. ee..
nakk.. udah lama.. oohh.. ga.. main.. penismu.. nik.. mat Guss.. ss..
ss.. emmhh..”, desahnya yang sudah kacau.
“Terus isep.. iss.. sseepp.. teteku.. gigit.. ce.. pet.. gi.. git.. aahh.. mmhhmm..”, Katanya.
Lalu saya plintir puting payudaranya menggunakan bibir saya dan sekali-sekali saya gigit dengan agak sedikit gemas.
“Iya.. terus.. ss.. mmhhmm.. eehheehh.. Gus.. mo pipis lagi.. ga ku.. at.. aahh..”, katanya sambil menegangkan badannya.
Penis saya seperti disiram oleh cairan hangat dan itu membuat saya tak
kuasa untuk menggerakan penis saya di dalam vagina Yuyun.
“Gus uudahh.. kocok vagina Yuyun.. Yuyun udah ga tahan mo dikocok sama kontol kamu.. mmhhmm..”, desahnya.
Langsung dengan cepat saya gerakkan penis saya keluar masuk vagina
Yuyun. Sesekali saya tarik penis saya dan dengan cepat saya tancapkan
lagi ke vaginanya. Ini saya lakukan secara mendadak yang membuat Yuyun
berteriak kecil.
“Auwww.. mmhhmm.. auuwww.. ahh.. eehh.. gila..
kontolmu mentok Gus.. sakit.. sakit.. ahh.. eenn.. akk.. bag.. nget..
sshh..”, desahnya tiap kali saya buat gerakan itu.
“Gus.. mo.. pippiss.. ga.. tahhan.. stop.. stop.. mmhhmm.. aahh.. aahh..”, katanya.
“Kita bareng ya Yun.. oohh.. tu.. wa.. ga.. aahh..”, kataku.
“Croot.. crroott.. crroott.. serr.. serr.. seerr..”, cairan kami berdua keluar dengan derasnya di dalam vaginanya.
Kami berdua berpelukan erat saat itu. Yuyun memeluk dan mencium saya
dengan erat dan tangannya mencakar punggung saya juga kakinya yang
membelit pinggang saya dengan keras. Saya juga melakukan hal yang serupa
dengannya sambil saya angkat badannya sedikit menggendong. Penis saya
terasa dihisap oleh vaginanya dan serasa akan lepas ditelannya. Kami
berdua mengerang dalam ciuman. Liur kami berdua bercampur baur tak
terkira. Lidah kami berdua serasa ingin membelit satu sama lain. Kami
berdua sudah tidak menghiraukan apakah teriakan kami berdua terdengar
sampai ke luar ruangan. Rasanya tak terkatakan walau ditulis
berhelai-helai kertas. Hanya kami berdua saja yang bisa merasakannya.
Setelah beberapa lama, penis saya masih tertancap di dalam vaginanya,
kami berdua mulai melonggarkan pelukan itu dan kami berdua saling
bertatapan. Kami berdua tersenyum sambil diselingi dengan beberapa
ciuman kecil.
“Gus kamu hebat, Yuyun sampe berapa kali pengan pipis”, katanya disela sela ciuman kami.
“Kamu juga hebat, memek kamu tau aja kesenangan penis saya, “Kataku.
“Gus, yang terakhir tadi.. itu paling enak, bener..”, katanya.
“Iya saya juga ngrasa gitu, nih liat kontol saya masih di dalem memek Yuyun”, kataku sambil memperhatikan penis saya.
“Gus jangan dicabut ya.. masih nikmat..”, katanya sambil tersenyum.
“Udah ah, takut kondomnya bocor kelamaan di dalem”, jawabku.
“Emangnya bisa bocor Gus?”, kata Yuyun bertanya penasaran.
“Bisa kali, kalo bocor ntar kamu hamil loh.. mau kamu hamil?”, tanyaku.
“Saya ga mau ah, tapi kalo bikinnya saya mau banget..”, jawabnya sambil melirik padaku.
“Sama dong..”, kataku sambil menciumnya.
Kami berdua berjalan menuju kamar mandi dalam keadaan bugil. Terlebih
dahulu saya buang kondom itu di tempat sampah dapur. Lalu kami berdua
mandi bersama yang tentu saja diselingi dengan gerakan-gerakan nakal.
Setelah kami kaluar dari kamar mandi dan akan menuju kamar Yuyun, kami
berdua terkejut oleh keberadaan Teh Endang yang sedari tadi berdiri
menyaksikan kami brdua dalam keadaan bugil.
“Apa yang kalian lakukan berdua?”, katanya sambil membentak.
Kami berdua tidak menjawab sepatah katapun karena kami sudah tertangkap basah.
“Yuyun, sana kamu ke kamar kamu!”, katanya kepada Yuyun.
Yuyun berlari kecil sambil menutupi badannya langsung menuju kamarnya.
Teh Endang memandangku dengan pandangan sinis. Ia memandangi badan saya
dari ujung rambut ke ujung kaki. Memang badan saya atletis, maklum saya
rajin fitness. Tanpa aba-aba terlebih dahulu, Teh Endang langsung
mengarahkan ciumannya kearah bibir saya. Tangannya meremas kedua pantat
saya. Ciumannya sangat ganas dan liar. Mendapat perlakuan itu saya kaget
sambil sedikit senang. Ternyata saya tidak dimarahi seperti yang telah
saya bayangkan sebelumnya. Saya secara spontan membalasnya dengan liar
pula. Pada waktu tangan saya hendak menyusup ke arah payudaranya dia
menepis tangan saya.
“Gus masa cuma si Yuyun doang yang
kebagian, Endang juga mau..”, katanya sambil memegang penis saya yang
dari tadi sudah berdiri.
“Belum apa-apa udah mau pegang punyaku, kamu nakal Gus..”, katanya sambil tersenyum padaku.
“Abis Teh Endang duluan sih.. tuh liat punya saya sampe bediri gini..”, kataku.
“Gus ayo ke kamar Endang aja, malu kalo ada si Yuyun”, katanya sambil menggandeng tanganku menuju kamarnya.
Setelah sampai kamar Teh Endang, ia menyuruhku untuk melepaskan pakaiannya.
“Gus kamu bukain baju Endang ya, ga usah malu-malu, BH dengan CD-nya
juga ya.. sampe Endang telanjang.. kaya kamu”, katanya sambil tertawa
kecil padaku.
Saya langsung membukakan pakaian Teh Endang.
Pertama kemejanya, roknya, lalu terlihat BH dengan payudara yang
menantang dan CD yang menutupi gundukan vaginanya. Penis saya seperti
ingin meledak ketika saya mencopot BH dan CD-nya. Terlihatlah payudara
yang sexy dan vaginanya yang mulus tanpa bulu. Ternyata Teh Endang rajin
mencukur bulu-bulu disekitar vaginanya. Belahan vaginanya terlihat
jelas membagi dua kedua pahanya. Lalu dengan jalan yang dibuat-buat, Teh
Endang melangkah ke kasurnya dan langsung berbaring sambil
mengangkangkan kedua pahanya. Terlihat jelas vaginanya terbelah dan
terlihat bibir bagian dalamnya tentu saja klitorisnya. Secara tidak
sengaja saya memperhatikan sekitar ruangan kamar itu dan di meja riasnya
terdapat beberapa penis mainan dari karet yang membuat saya tertegun
sejenak.
“Gus kamu mau liatin kamar Endang aja atau mau sama Endang?”, katanya yang membuat aku sadar sejenak.
“Masa body Endang dianggurin sih.. kamu ga mau sama ini..”, katanya sambil menggosok-gosok vaginanya.
“Ayo Gus buat Endang puas, masa si Yuyun dikasih tapi Endang nggak..”, rayunya.
“Cepet Gus..”, katanya. Terlihat vaginannya sudah mulai basah karena gosokannya sendiri.
“Teh Endang, siap ya..”, kataku sambil menindih badannya.
Kami berdua langsung berciuman dengan liar dan tangan kami
masing-masing mencari bagian dari badan kami yang kami anggap dapat
memuaskan nafsu. Lidah kami beradu dan liur kami pun sudah menyatu.
Ternyata Teh Endang memiliki ciuman yang hebat. Saya tak kuasa
dibuatnya. Ia mengambil alih setiap ciuman kami. Saya hanya bisa
menggunakan tangan saya untuk menyentuh dan meremas payudaranya sehingga
terkadang ciumannya terhenti saat saya tangan saya bergelut dengan
puting payudaranya.
“Ehhmm.. yaahh.. ssiipp.. truss.. Gus..
ayo.. ter.. rus.. remes.. yang.. kenceng.. dua.. duanya.. jugaa..
ehhmm.. oohh..”, desahnya dibalik ciumannya.
Ciumanku terus
berlanjut ke leher dan telinganya. Setiap bibir saya menyentuh
telinganya, badannya langsung bergelinjang. Ternyata titik rangsangannya
terbesar ada di sana.
“Gus jangan di kuping terus.. gelii.. gellii.. ehhmm.. ge.. llii.. eehheemm.. aahh..”, desahnya.
Lalu saya berpindah menciumi payudaranya dan sedikit menggigit putingnya.
“Ahh.. iyyaahh.. ahh.. iyyaahh.. iyahh.. iyyaahh.. oohh.. iyyaahh..”, desahnya dan lama-lama menjadi sebuah teriakan.
“Gus Endang mau pipis.. pii.. ppiiss.. eehh.. eehh.. eehheehh.. aa”, desahnya panjang.
Ternyata Teh Endang orgasme, badannya naik ke atas lalu dibanting ke
bawah dan ini dilakukannya berkali-kali sambil berteriak. Badan saya
terdorong ke atas berkali-kali. Lalu badannya menegang dengan teriakan
panjang, sesudah itu terdiam sejenak sambil merasakan orgasmenya.
Tubuhnya memerah dan banyak keringat yang keluar.
“Gus udah ga usah diciumi lagi, cepet masukin punya kamu ke memek Endang.. cepet.. cepet..”, katanya sambil memeluk badanku.
Tetapi saya langsung menuju vaginanya dan menjilat permukaan vaginanya yang telah basah akibat orgasmenya tadi.
“Gus kamu ngapain.. oohh.. jangan.. eehh.. eehh.. eehhmm..”, desahnya karena perlakuanku itu.
“Ka.. mmu.. jahh.. hat.. Endang.. dahh.. gak.. eehh.. kuat.. ka.. mmuu.. nyiksa.. eehhmm..”, katanya.
“Ahh nikmat.. eenn.. nakk.. ehhmm.. eehhee.. trus.. jilat.. jilat.. jilat.. jiillaat.. memek Endang..”, desahnya.
Lidah saya terus memburu vagina Teh Endang. Klitorisnya saya gigit,
jilat, hisap dan sekali-sekali saya jepit dengan bibir saya.
“Iyahh.. heehh.. hhee.. eehhmm.. hhmm.. isep.. kacangnya.. kacang..
Endang.. trus.. oohh.. aahh.. ss.. ss.. eehhmm”, desahnya sambil
menggerakkan badannya kekiri dan kekanan.
“Aahh..”, teriaknya panjang.
Teriakan itu mengangetkan saya dan ternyata ia orgasme lagi. Cairan di
vaginanya banyak sekali dan membuat sekitar bibir dan mulutku basah.
Langsung saya jilat sampai habis cairan itu. Terasa asin tetapi
lama-kelamaan rasanya hilang. Cakaran Teh Endang menghujam punggung dan
leher saya. Dalam hati saya berkata bahwa hari ini saya mendapat banyak
sekali cakaran dari dua orang wanita.
Lalu Teh Endang menarik
kepala saya dan kamipun berciuman dengan lebih liar. Tiba-tiba Teh
Endang membalikan badan saya sehingga dia berada diatas saya. Melihat
penis saya yang berdiri tegak, Teh Endang langsung melebarkan pahanya
sehingga vaginanya tepat berada di atas penis saya. Langsung ia
mendorong vaginanya ke arah penis saya dan lama-kelamaan penis saya
sudah hilang di telan vaginanya. Saya lupa memakai kondom yang tersisa
dua buah lagi. Tetapi saya meyakinkan diri bahwa saya dan dia bersih.
Teh Endang menggerak-gerakan pinggulnya naik turun dan kanan kiri.
Terasa sangat nikmat dan tak terbayangkan rasa yang saya alami, maupun
dia.
“Gus.. gimana.. ennakk.. ga.. memek.. Endang.. eehhmm.. eehh..”, katanya.
Saya hanya mengangguk dan berusaha menaikkan pinggul saya agar penis
saya masuk lebih dalam lagi. Setiap gerakan kami berdua selalu dibarengi
dengan bunyi seperti “Pok.. pok.. pok.. cplak.. cplak”.
Kejadian
itu berlangsung lama sehingga Teh Endang orgasme sebanyak dua kali lagi.
Dua kali pula penis saya disiram oleh cairan hangat di dalam vaginanya.
Lalu selang beberapa lama Teh Endang akan orgasme lagi.
“Gus Endang.. mau.. pipiss.. pi.. piss.. eehh..”, katanya.
“Bareng ya, saya juga dah mau nih..”, kataku.
“Keluarin.. di.. luar.. aja.. ya.. ehhmm..”, kataku.
“Teh saya keluar..”, kataku. Pada saat saya hendak menarik penis saya,
Teh Endang menjatuhkan badannya dan memeluk dengan erat, sambil mencium
saya, dan kakinya merangkul kedua kaki saya.
“Croott.. crroott..
crroott..”, sperma saya muncrat di dalam vaginanya dengan tertancap
sempurna. Seluruh batang penis saya berada di dalam vaginanya. Cairan
kami menyatu dan banyak sekali. Terasa hangat batang penis saya.
“Gus di dalem memek Endang ada yang anget-anget.. eehh.. ennak banget
rasanya..” Katanya setelah merasakan muncratnya sperma saya di dalam
vaginanya.
Langsung saya terbangun dan menarik penis saya. Saya
kaget karena kaluarnya sperma si dalam vaginanya. Saya takut apabila
Teh Endang dalam masa subur dan akibatnya, HAMIL! Dalam otak saya
terbayang apabila Teh Endang hamil maka saya harus bertanggung jawab
atas hal itu.
“Gus kamu knapa.. kamu nyesel main sama Endang?”, tanyanya melihat tingkahku yang gugup.
“Teh Endang maaf ya.. tadi keluarnya di dalem.. kan bisa hamil.. maaf
saya khilaf.. tapi saya akan bertanggung jawab koq”, kataku menjelaskah
dengan tidak pasti.
Teh Endang hanya tersenyum dan menatapku penuh keluguan. Melihat itu saya bertambah gugup dan malu.
“Koq Teh Endang cuma senyum doang, ada yang salah ya?”, kataku keheranan.
“Kamu emang anak yang baek, tapi kamu gak usah kuatir, Endang pake KB loh..”, katanya menjelaskan.
“Kamu lucu yah kalo lagi gugup.. makanya Endang ketawain kamu.. maap ya Gus..”, tambahnya lagi.
Mendengar itu rasanya pikiran saya seperti lega dan akan meledak. Saya
baringkan badan saya karena puas atas jawaban Teh Endang dan saya terus
membodohi diri sendiri sekaligus menutupi rasa malu saya. Teh Endang
menindih badan saya dan mencium dada saya yang bidang lalu kami berdua
berciuman mesra. Lalu kami mandi bersama dan di sana kami melakukannya
lagi berberapa kali.
Setelah itu kami berdua makan bersama. Teh
Endang menyuruh Yuyun memasakkan hidangan nasi goreng yang menurut Teh
Endang masakan Yuyun sangat enak. Selama makan Teh Endang bercerita
bahwa dia dan teman-teman sebayanya adalah hypersex. Yang lebih gila
lagi, teman-temannya rela membayar seorang gigolo untuk memuaskan nafsu
mereka. Tetapi Teh Endang tidaklah demikian. Teh Endang lebih
berhati-hati dalam memilih teman kencannya dan tidak sembarangan
dibandingkan mereka. Dan kadang-kadang teman-temannya sering mengunjungi
Teh Endang atau sebaliknya dan rencananya saya akan dikenalkan pada
mereka.
Beberapa hari berjalan, saya dan Teh Endang sering
melakukan hubungan intim di rumahnya untuk memuaskan nafsu kami berdua.
Kadang bila Teh Endang belum pulang, saya menunggunya sambil mendapatkan
servis memuaskan dari si Yuyun. Bermacam gaya kami lakukan dan
dimanapun tempatnya, di kamar, garasi, ruang tamu, kamar mandi, dapur
dan tempat yang kami anggap aman, baik dengan Teh Endang maupun Yuyun.
sumber:http://www.facebook.com/pages/CeRiTa-PeNgaLaMaN-SeX
No comments:
Post a Comment