Monday, June 18, 2012

Kereta Api

Aku menggilai sekali perjalanan panjang dgn kereta api, bukan karena unsur kenyamanan, tapi aku berharap seseorang di sebelahku nantinya memberi kesegaran ekstra. Kadang aku bertualang dgn KA dgn tujuan yg sebenarnya tidak jelas, hanya melampiaskan keisengan nyentrikku ini.
“Mbak, tolong kursinya di gabung sama cewek juga, karena pemesan tiket ini cewek, dia cuma merasa nyaman bersama cewek”, begitu dalihku tiap kali melakukan reservasi tiket.
Alhasil, hampir semua tour yg kutempuh dgn KA membuahkan hasil, tapi perlu kuberitahu sedikit rahasia, kalau aku samasekali tidak tertarik kepada perempuan seusia atau lebih muda dariku, entah kenapa? Kalau dipasangkan dgn golongan seperti itu, biasanya aku cuma berbasa-basi sebentar, lalu tertidur hingga sampai di tujuan.
Saat itu, rute yg akan kutempuh adalah Bandung-Jogjakarta. Kulihat wanita setengah baya mengisi seat 3A, yes, seruku. Soalnya aku akan duduk di seat 3B. Ibu yg kelihatan cantik, terpelajar, dan kalem dibalut kerudung hitam, kutaksir usianya berkisar 45 tahun, 20 tahun lebih tua dariku.
“Permisi bu”, kataku sopan ketika harus berjinjit di hadapannya untuk menempatkan tasku di bagasi atas. Kucium aroma wangi yg lembut seolah mengitari sang ibu.
“Silahkan”, katanya tersenyum ramah. Lalu pembicaraan pun mulai berlangsung. Dari mana hendak kemana, kerja dimana, dalam rangka apa kesana, dalam rangka apa dari sini, dan lain-lain. Semacam percakapan basa-basi.
Lalu KA berjalan, dudukan tangan yg biasanya memisahkan dua seat kuangkat ke atas hingga tak ada lagi sekat diantara kami. Teknik standar yg biasanya kulakukan sebagai langkah awal adalah sebisa mungkin membut anggota tubuh bersentuhan. Bisa tangan, kaki, bahu, kepala.
“Ibu ngapain ke Jogja?”, tanyaku lagi, sebab seingatku ini belum kutanyakan.
“Oh, saya punya anak perempan yg kuliah disana, ya cuma berkunjung biasa, kalau kamu sendiri ngapain ke Jogja?”, balas si ibu bertanya.
“Saya ke Jogja ingin menemani seorang ibu mengunjungi puterinya”, aku cuek, si ibu tertawa. Poin kedua, jika kamu bisa membuat lawan bicaramu tertawa, dia sudah menyimpan kesan baik tentangmu!
Pembicaraan demi pembicaraan berlangsung, lalu ada jeda. Saat itu, aku secara perlahan menempelkan kakiku ke kakinya, si ibu menggeser kakinya spontan, menjauh. Aku pura-pura membaca tabloid komputer yg tadi sempat aku beli.
Beberapa menit kemudian, aku bangkit, seolah ingin mengambil sesuatu dari tas, ketika akan duduk, aku sengaja menghenyakkan pantat mepet sekali dengannya, hingga kami duduk seperti berdesakan. Tentunya, dia tak lagi bisa bergeser, karena si ibu sudah berada persis di dinding kereta.
“Agak kesana dong, sempit”, kata si ibu.
“Oh, iya maaf bu”, kataku berlagak bodoh, kesempatan bergeser itu kumanfaatkan dengan menggaruk pahanya yg dibalut celana panjang berbahan cotton. Aku bisa merasakan dia sedikit terkejut, lalu kami kembali diam.
Kalau kalian pernah naik KA dari Bandung jalur selatan, kalian akan melewati terowongan gelap, tidak panjang, sekitar 30 detik, namun keadaan dalam kereta akan gelap gulita. Momen itu kusempatkan meletakkan telapak tanganku di pahanya, kutepuk-tepuk, “tenang bu, cuma terowongan”
“Ya saya tahu”, katanya sembari memegang tanganku dan memindahkannya dari pahanya. Aku tahu si ibu sudah mulai waspada dgnku.
Selepasnya, kuajak lagi dia mengobrol, obrolan yg tentu saja kupaksa untuk selalu ke arah mesum.
“Umur ibu berapa? Maaf, cuma mau tahu saja”
“43, kala kamu?
“25, wah jauh sekali ya bu, tapi ibu koq kelihatan muda dan cantik?, semoga trik ini berhasil, pikirku. Kulihat mukanya memerah.
“Masa sih?”, katanya penasaran bercampur senang.
“Iya, berarti ibu belum menopause kan? Biasanya kan 45″, kataku mulai kurang ajar. Sejenak dipandanginya aku, tapi karena mungkin terlanjur kupuji, dia menanggapi. Dalam hati aku bersorak, GOTCHA!
Aku menanyakan seluk beluk menopause, haid, dan masalah sensitif lain dgn bahasa sopan dan seilmiah mungkin. Pada saat itu, tiap kali si ibu berbicara aku hanya memandangi bibirnya, bukan matanya.
Gangguan pun datang, dinner time! Petugas sibuk wara-wiri di gang melayani para penumpang. Menu hari itu adalah nasi goreng, kuminta tambahan STMJ.
“Buat apa itu STMJ-nya”, tanya si ibu, pertanyaan yg kutunggu-tunggu.
“Biar kuat bu”, kataku sambil menjilati bibirku seraya memandangi bibirnya. Si ibu tampak jengah, lalu seperti gugup berfokus pada makanannya, walau kelihatan sekali dia tidak begitu selera.
Semuanya beres, dan inilah senjata pamungkas. Ketika petugas membagikan selimut. Aku melebarkannya hingga menutupi tubuh kami berdua. Lalu pura-pura tertidur. Di dalam selimut itulah, tanganku mulai bergerilya. Mula-mula mendapat perlawanan, aku tidak menyerah. Ketika jariku berada diantara selangkangannya, si ibu luluh. Aku menggaruk-garukkan jari tengah dan telunjuk di sana. Si ibu malah melebarkan pahanya. Yah, garukan vagina dari luar itu membuatnya terhipnotis.
Kutarik tubuhnya hingga bertumpu di dadaku, kupeluk dia, satu demi satu buah dadanya kuremas lembut. Si ibu mendesah. Kumasukkan tanganku dari leher bajunya dan meraih puting, kupilin-plin lembut. Dia memejamkan mata. Kuciumi lehernya, dan tangannya kubimbing membuka kancing celanaku.
Lalu, si ibu sudah mulai mengocok-ngocok penisku, dan aku meremas buah dadanya, membelai-belai vagina dari luar celana, dan menghisap lehernya. Semua kami lakukan di dalam selimut.
Ketika nafsuku sudah di ubun-ubun, dan celana si ibu sudah basah di bagian selangkangan, kubisikkan padanya,”susuk aku ke toilet yah”, kulihat semua penumpang sudah tertidur, dan lampu besar dipadamkan.
Hanya beberapa detik aku di toilet, si ibu mengetuk perlahan, kubukakan pintu dan kutarik dia buru-buru ke dalam. Dia menghadap jendela sembari memegang pegangan besi. Kupeluk dari belakang, menggesek-gesek penisku ke pantatnya. Dua payudara yg tidak lagi begitu kencang kuraih dari dalam bajunya, kuremas lembut.
“Aku masukin yah bu”, pintaku.
“Iyah…”, katanya pelan. Kuturunkan celananya, aku berjongkok diantara selangkangan itu, dan mulai menjilati bagian luar vaginanya, setelah menggeser celana dalam ke samping sejauhnya. Si ibu mendesah-desah nikmat, melebarkan paha dan sedikit menekuk lutut. Kuhisap vaginanya sampai benar-benar basah, lalu bangkit berdiri, kembali ke belakang.
Kondom yg selalu ada di dompet kuserahkan pada si ibu sementara aku sibuk meremasi payudaranya. Dia berjongkok di hadapanku, kuarahkan penisku ke mulutnya, si ibu mengulum, ah nikmat betul, hangat…
Dgn sigap disarungkannya penisku, lalu berdiri membelakangiku lagi, tubuhnya agak condong ke depan.
Kudekap pinggangnya, kuarahkan penisku ke lubang vagina dia, masuk. Kugenjot perlahan namun pasti, sesekali kuliukkan pantatku kiri, kanan, atas, bawah.
“Awwhhss…”, teriakan si ibu cukup keras, namun siapa yg akan mendengarnya? Deru lokomotif KA sepuluh kali lebih berisik dari itu. Kuhunjamkan penisku dalam-dalam dgn geram, tak lupa tanganku rajin meremasi payudara yg masih tetap dalam bra.
“Lebih kencang, ayohhh…”, bisiknya. Kuaduk-aduk vagina si ibu lebih kencang dan menggila. Kami berpeluh.
Kubalikkan tubuhnya, kami berhadapan. Kumasukkan penisku lagi ke lubang vagina, lalu menggendongnya. Si ibu mengepitkan kaki di pantatku. Kuguncang-guncangkan tubuhnya hingga penisku merasakan rasa enak yg luar biasa akibat gesekan dengan dinding vaginanya.
Tiba-tiba, si ibu menempelkan bibirnya ke bibirku, dan menghisap mulutku kuat sekali, tubuhnya bergetar hebat, liukan pantatnya dimaju mundurkan, dekapannya menjadi sangat erat sampai aku sulit bernafas….
“Ah…aku sampaiii…!!”
Kubiarkan dia mengendarai penisku sesukanya, teriakannya makin menjadi. Lalu kucabut penis sejenak, cairan seperti air kencing tiba-tiba menyemburat kencang dari vaginanya, membasahi celanaku.
“Aduh, maaf yah, habis enak banget…”
“Ngga apa-apa bu, sekarang aku keluarin punyaku yah? Keluarin di dalam ngga apa-apa kan?”, tanyaku. Si ibu kelihatan berpikir sejenak…
“Ya, ngga apa-apa deh…ayo…”
Kucabut kondomku, kurapatkan dia ke dinding toilet, lalu kuhunjamkan lagi penis yg sudah hampir meledak, kugenjot sekencang-kencangnya, sambil bibirnya kuhisap, dan….
“Ahh…ah…ahhh…ohhh…”, spermaku berhamburan ke dalam sana, ke rahimnya, si ibu memelukku erat. Kenikmatan itu tak terlukiskan. Kulap tumpahan sperma yg meleleh dari vaginanya dengan kertas tissue. Kuciumi bibirnya, lalu kami kembali mengenakan pakaian.
Di kursi, kami tidur berpelukan, sesekali kuciumi bibirnya, si ibu menggelayut manja. Kuelus-elus rambutnya. Tidurnya pulas sekali, namun aku tak jua bisa memejamkan mata.
————-
Di Jogja, kami masih sempat melakukannya dua kali kala puterinya berangkat kuliah, pertarungan dahsyat di kamar kos, tidak ada yg curiga, karena aku mengaku sebagai anak si ibu. 

sumber : www.meremmelek.net

No comments:

Post a Comment