Pertama-tama perkenalkan, aku adalah penggemar setia
Ceritapanas.com. Sejak aku mengetahui alamat ini tujuh bulan lalu,
hampir semua cerita aku baca, terutama yang merupakan kisah nyata.
Karena itulah aku tergerak untuk mencoba menceritakan pengalamanku. Aku
(sebut saja Aswin), umur hanpir 40 tahun, postur tubuh biasa saja,
seperti rata-rata orang Indonesia, tinggi 168 cm, berat 58 kg, wajah
lumayan (kata ibuku), kulit agak kuning, seorang suami dan bapak satu
anak kelas satu Sekolah Dasar. Selamat mengikuti pengalamanku.
Cerita yang aku paparkan berikut ini terjadi hari Senin. Hari itu aku
berangkat kerja naik bis kota (kadang-kadang aku bawa mobil sendiri).
Seperti hari Senin pada umumnya bis kota terasa sulit. Entah karena
armada bis yang berkurang, atau karena setiap Senin orang jarang
membolos dan berangkat serentak pagi-pagi. Setelah hampir satu jam
berlari ke sana ke mari, akhirnya aku mendapatkan bis.
Dengan nafas ngos-ngosan dan mata kesana kemari, akhirnya aku
mendapat tempat duduk di bangku dua yang sudah terisi seorang wanita.
Kuhempaskan pantat dan kubuang nafas pertanda kelegaanku mendapatkan
tempat duduk, setelah sebelumnya aku menganggukkan kepala pada teman
dudukku. Karena lalu lintas macet dan aku lupa tidak membawa bacaan,
untuk mengisi waktu dari pada bengong, aku ingin menegur wanita di
sebelahku, tapi keberanianku tidak cukup dan kesempatan belum ada,
karena dia lebih banyak melihat ke luar jendela atau sesekali menunduk.
Tiba-tiba ia menoleh ke arahku sambil melirik jam tangannya.
“Mmacet sekali ya?” katanya yang tentu ditujukan kepadaku.
“Biasa Mbak, setiap Senin begini. Mau kemana?” sambutku sekaligus membuka percakapan.
“Oh ya. Saya dari Cikampek, habis bermalam di rumah orang tua dan mau pulang ke Pondok Indah,” jawabnya.
Belum sempat aku buka mulut, ia sudah melanjutkan pembicaraan,
“Kerja dimana Mas?”
“Daerah Sudirman,” jawabku.
“Mmacet sekali ya?” katanya yang tentu ditujukan kepadaku.
“Biasa Mbak, setiap Senin begini. Mau kemana?” sambutku sekaligus membuka percakapan.
“Oh ya. Saya dari Cikampek, habis bermalam di rumah orang tua dan mau pulang ke Pondok Indah,” jawabnya.
Belum sempat aku buka mulut, ia sudah melanjutkan pembicaraan,
“Kerja dimana Mas?”
“Daerah Sudirman,” jawabku.
Obrolan terus berlanjut sambil sesekali aku perhatikan wajahnya.
Bibirnya tipis, pipinya halus, dan rambutnya berombak. Sedikit ke bawah,
dadanya tampak menonjol, kenyal menantang. Aku menelan ludah.
Kuperhatikan jarinya yang sedang memegang tempat duduk di depan kami,
lentik, bersih terawat dan tidak ada yang dibiarkan tumbuh panjang. Dari
obrolannya keketahui ia (sebut saja Mamah) seorang wanita yang kawin
muda dengan seorang duda beranak tiga dimana anak pertamanya umurnya
hanya dua tahun lebih muda darinya. Masa remajanya tidak sempat pacaran.
Karena waktu masih sekolah tidak boleh pacaran, dan setelah lulus
dipaksa kawin dengan seorang duda oleh orang tuanya. Sambil bercerita,
kadang berbisik ke telingaku yang otomatis dadanya yang keras meneyentuh
lengan kiriku dan di dadaku terasa seeer! Sesekali ia memegangi
lenganku sambil terus cerita tentang dirinya dan keluarganya. “Pacaran
asyik ya Mas?” tanyanya sambil memandangiku dan mempererat genggaman ke
lenganku. Lalu, karena genggaman dan gesekan gunung kembar di lengan
kiriku, otakku mulai berpikiran jorok. “Kepingin ya?” jawabku berbisik
sambil mendekatkan mulutku ke telinganya. Ia tidak menjawab, tapi
mencubit pahaku.
Tanpa terasa bis sudah memasuki terminal Blok M, berarti kantorku
sudah terlewatkan. Kami turun. Aku bawakan tasnya yang berisi pakaian
menuju kafetaria untuk minum dan meneruskan obrolan yang terputus. Kami
memesan teh botol dan nasi goreng. Kebetulan aku belum sarapan dan
lapar. Sambil menikmati nasi goreng hangat dan telor matasapi, akhirnya
kami sepakat mencari hotel. Setelah menelepon kantor untuk minta cuti
sehari, kami berangkat.
Sesampai di kamar hotel, aku langsung mengunci pintu dan menutup
rapat kain horden jendela. Kupastikan tak terlihat siapapun. Lalu
kulepas sepatu dan menghempaskan badan di kasur yang empuk. Kulihat si
Mamah tak tampak, ia di kamar mandi. Kupandangi langit-langit kamar,
dadaku berdetak lebih kencang, pikiranku melayang jauh tak karuan.
Senang, takut (kalau-kalau ada yang lihat) terus berganti. Tiba-tiba
terdengar suara tanda kamar mandi dibuka. Mamah keluar, sudah tanpa
blaser dan sepatunya. Kini tampak di hadapanku pemandangan yang
menggetarkan jiwaku. Hanya memakai baju putih tipis tanpa lengan. Tampak
jelas di dalamnya BH hitam yang tak mampu menampung isinya, sehingga
dua gundukan besar dan kenyal itu membentuk lipatan di tengahnya. Aku
hanya bisa memandangi, menarik nafas serta menelan ludah.
Mungkin ia tahu kalau aku terpesona dengan gunung gemburnya. Ia lalu
mendekat ke ranjang, melatakkan kedua tangannya ke kasur, mendekatkan
mukanya ke mukaku, “Mas…” katanya tanpa melanjutkan kata-katanya, ia
merebahkan badan di bantal yang sudah kusiapkan. Aku yang sudah menahan
nafsu sejak tadi, langsung mendekatkan bibirku ke bibirnya. Kami larut
dalam lumat-lumatan bibir dan lidah tanpa henti. Kadang berguling,
sehingga posisi kami bergantian atas-bawah. Kudekap erat dan kuelus
punggungnya terasa halus dan harum. Posisi ini kami hentikan atas
inisiatifku, karena aku tidak terbiasa ciuman lama seperti ini tanpa
dilepas sekalipun. Tampak ia nafsu sekali. Aku melepas bajuku, takut
kusut atau terkena lipstik. Kini aku hanya memakai CD. Ia tampak bengong
memandangi CD-ku yang menonjol. “Lepas aja bajumu, nanti kusut,”
kataku. “Malu ah…” katanya. “Kan nggak ada yang lihat. Cuma kita
berdua,” kataku sambil meraih kancing paling atas di punggungnya. Dia
menutup dada dengan kedua tangannya tapi membiarkan aku membuka semua
kancing. Kulempar bajunya ke atas meja di dekat ranjang. Kini tinggal BH
dan celana panjang yang dia kenakan. Karena malu, akhirnya dia
mendekapku erat-erat. Dadaku terasa penuh dan empuk oleh susunya,
nafsuku naik lagi satu tingkat, “burung”-ku tambah mengencang.
Dalam posisi begini, aku cium dan jilati leher dan bagian kuping yang
tepat di depan bibirku. “Ach… uh…” hanya itu yang keluar dari mulutnya.
Mulai terangsang, pikirku. Setelah puas dengan leher dan kuping
kanannya, kepalanya kuangkat dan kupindahkan ke dada kiriku. Kuulangi
gerakan jilat leher dan pangkal kuping kirinya, persis yang kulakukan
tadi. Kini erangannya semakin sering dan keras. “Mas.. Mas.. geli Mas,
enak Mas…” Sambil membelai rambutnya yang sebahu dan harum, kuteruskan
elusanku ke bawah, ke tali BH hingga ke pantatnya yang bahenol,
naik-turun.
Selanjutnya gerilyaku pindah ke leher depan. Kupandangi lipatan dua
gunung yang menggumpal di dadanya. Sengaja aku belum melepas BH, karena
aku sangat menikmati wanita yang ber-BH hitam, apalagi susunya besar dan
keras seperti ini. Jilatanku kini sampai di lipatan susu itu dan
lidahku menguas-nguas di situ sambil sesekali aku gigit lembut. Kudengar
ia terus melenguh keenakan. Kini tanganku meraih tali BH, saatnya
kulepas, ia mengeluh, “Mas… jangan, aku malu, soalnya susuku kegedean,”
sambil kedua tangannya menahan BH yang talinya sudah kelepas. “Coba aku
lihat sayang…” Kataku memindahkan kedua tangannya sehingga BH jatuh, dan
mataku terpana melihat susu yang kencang dan besar. “Mah… susumu bagus
sekali, aku sukaaaa banget,” pujiku sambil mengelus susu besar menantang
itu. Putingnya hitam-kemerahan, sudah keras.
Kini aku bisa memainkan gunung kembar sesukaku. Kujilat, kupilin
putingnya, kugigit, lalu kugesek-gesek dengan kumisku, Mamah kelojotan,
merem melek, “Uh… uh… ahhh…” Setelah puas di daerah dada, kini tanganku
kuturunkan di daerah selangkangan, sementara mulut masih agresif di
sana. Kuusap perlahan dari dengkul lalu naik. Kuulangani beberapa kali,
Mamah terus mengaduh sambil membuka tutup pahanya. Kadang menjepit
tangan nakalku. Semua ini kulakukan tahap demi tahap dengan perlahan.
Pertimbanganku, aku akan kasih servis yang tidak terburu-buru,
benar-benar kunikmati dengan tujuan agar Mamah punya kesan berbeda
dengan yang pernah dialaminya. Kuplorotkan celananya. Mamah sudah
telanjang bulat, kedua pahanya dirapatkan. Ekspresi spontan karena malu.
Kupikir dia sama saja denganku, pengalaman pertama dengan orang lain.
Aku semakin bernafsu. Berarti di hadapanku bukan perempuan nakal
apalagi profesional. Kini jari tengahku mulai mengelus perlahan,
turun-naik di bibir vaginanya. Perlahan dan mengambang. Kurasakan di
sana sudah mulai basah meski belum becek sekali. Ketika jari tengahku
mulai masuk, Mamah mengaduh, “Mas… Mas… geli… enak… terus…!” Kuraih
tangan Mamah ke arah selangkanganku (ini kulakukan karena dia agak
pasif. Mungkin terbiasa dengan suami hanya melakukan apa yang
diperintahkan saja). “Mas… keras amat… Gede amat?” katanya dengan nada
manja setelah meraba burungku. “Mas… Mamah udah nggak tahan nikh,
masukin ya..?” pintanya setengah memaksa, karena kini batangku sudah
dalam genggamannya dan dia menariknya ke arah vagina. Aku bangkit
berdiri dengan dengkul di kasur, sementara Mamah sudah dalam posisi siap
tembak, terlentang dan mengangkang. Kupandangi susunya keras tegak
menantang.
Ketika kurapatkan “senjataku” ke vaginanya, reflek tangan kirinya
menangkap dan kedua kakinya diangkat. “Mas… pelan-pelan ya…” Sambil
memejamkan mata, dibimbingnya burungku masuk ke sarang kenikmatan yang
baru saja dikenal. Meski sudah basah, tidak juga langsung bisa amblas
masuk. Terasa sempit. Perlahan kumasukkan ujungnya, lalu kutarik lagi.
Ini kuulangi hingga empat kali baru bisa masuk ujungnya. “Sret.. sret…”
Mamah mengaduh, “Uh… pelan Mas… sakit…” Kutarik mundur sedikit lagi,
kumasukkan lebih dalam, akhirnya… “Bles.. bles..” barangku masuk semua.
Mamah langsung mendekapku erat-erat sambil berbisik, “Mas.. enak, Mas
enak… enak sekali… kamu sekarang suamiku…” Begitu berulang-ulang sambil
menggoyangkan pinggul, tanpa kumengerti apa maksud kata “suami”.
Mamah tiba-tiba badannya mengejang, kulihat matanya putih, “Aduuuh…
Mas… aku… enak… keluaaaar…” tangannya mencengkeram rambutku. Aku
hentikan sementara tarik-tusukku dan kurasakan pijatan otot vaginanya
mengurut ujung burungku, sementara kuperhatikan Mamah merasakan hal yang
sama, bahkan tampak seperti orang menggigil. Setelah nafasnya tampak
tenang, kucabut burungku dari vaginanya, kuambil celana dalamnya yang
ada di sisi ranjang, kulap burungku, juga bibir vaginanya. Lantas
kutancapkan lagi. Kembali kuulangi kenikmatan tusuk-tarik, kadang aku
agak meninggikan posisiku sehingga burungku menggesek-gesek dinding atas
vaginanya. Gesekan seperti ini membuat sensasi tersendiri buat Mamah,
mungkin senggamanya selama ini tak menyentuh bagian ini. Setiap kali
gerakan ini kulakukan, dia langsung teriak, “Enak.. terus, enak terus…
terus…” begitu sambil tangannya mencengkeram bantal dan memejamkan mata.
“Aduuuhm Mas… Mamah keluar lagi niiikh…” teriaknya yang kusambut dengan
mempercepat kocokanku.
Tampak dia sangat puas dan aku merasa perkasa. Memang begitu adanya.
Karena kalau di rumah, dengan istri aku tidak seperkasa ini, padahal aku
tidak pakai obat atau jamu kuat. Kurasakan ada sesuatu yang luar biasa.
Kulirik jam tanganku, hampir satu jam aku lakukan adegan ranjang ini.
Akhirnya aku putuskan untuk terus mempercepat kocokanku agar ronde satu
ini segera berakhir. Tekan, tarik, posisi pantatku kadang naik kadang
turun dengan tujuan agar semua dinding vaginanya tersentung barangku
yang masih keras. Kepala penisku terasa senut-senut,
“Mah… aku mau keluar nikh…” kataku.
“He… eeh… terus… Mas, aduuuh… gila… Mamah juga… Mas… terus… terus…”
“Crot… crot…” maniku menyemprot beberapa kali, terasa penuh vaginanya dengan maniku dan cairannya. Kami akhiri ronde pertama ini dengan klimaks bareng dan kenikmatan yang belum pernah kurasakan. Satu untukku dan tiga untuk Mamah.
“Mah… aku mau keluar nikh…” kataku.
“He… eeh… terus… Mas, aduuuh… gila… Mamah juga… Mas… terus… terus…”
“Crot… crot…” maniku menyemprot beberapa kali, terasa penuh vaginanya dengan maniku dan cairannya. Kami akhiri ronde pertama ini dengan klimaks bareng dan kenikmatan yang belum pernah kurasakan. Satu untukku dan tiga untuk Mamah.
Setelah bersih-bersih badan, istirahat sebentar, minum kopi, dan
makan makanan ringan sambil ngobrol tentang keluarganya lebih jauh.
Mamah semakin manja dan tampak lebih rileks. Merebahkan kepalanya di
pundakku, dan tentu saja gunung kembarnya menyentuh badanku dan
tangannya mengusap-usap pahaku akhirnya burungku bangun lagi. Kesempatan
ini dipergunakan dengan Mamah. Dia menurunkan kepalanya, dari dadaku,
perut, dan akhirnya burungku yang sudah tegang dijilatinya dengan rakus.
“Enak Mas… asin gimana gitu. Aku baru sekali ini ngrasain begini,”
katanya terus terang. Tampak jelas ia sangat bernafsu, karena nafasnya
sudah tidak beraturan. “Ah…” lenguhnya sambil melepas isapannya. Lalu
menegakkan badan, berdiri dengan dengkul sebagai tumpuan. Tiba-tiba
kepalaku yang sedang menyandar di sisi ranjang direbahkan hingga
melitang, lalu Mamah mengangkangiku.
Posisi menjadi dia persis di atas badanku. Aku terlentang dan dia
jongkok di atas perutku. Burungku tegak berdiri tepat di bawah
selangkangannya. Dengan memejamkan mata, “Mas… Mamah gak tahaaan…”
Digenggamnya burungku dengan tangan kirinya, lalu dia menurunkan
pantatnya. Kini ujung kemaluanku sudah menyentuh bibir vaginanya.
Perlahan dan akhirnya masuk. Dengan posisi ini kurasakan, benar-benar
kurasakan kalau barang Mamah masih sempit. Vagina terasa penuh dan
terasa gesekan dindingnya. Mungkin karena lendir vaginanya tidak terlalu
banyak, aku makin menikmati ronde kedua ini. “Aduuh… Mas, enak sekali
Mas. Aku nggak pernah sepuas ini. Aduuuh… kita suami istri kan?” lalu…
“Aduuuh… Mamah enak Mas… mau keluar nikh… aduuuh…” katanya sambil meraih
tanganku diarahkan ke susunya. Kuelus, lalu kuremas dan kuremas lagi
semakin cepat mengikuti, gerakan naik turun pantatnya yang semakin cepat
pula menuju orgasme.
Akhirnya Mamah menjerit lagi pertanda klimaks telah dicapai. Dengan
posisi aku di bawah, aku lebih santai, jadi tidak terpancing untuk cepat
klimaks. Sedangkan Mamah sebaliknya, dia leluasa menggerakkan pantat
sesuai keinginannya. Adegan aku di bawah ini berlangsung kurang lebih 30
menit. Dan dalam waktu itu Mamah sempat klimaks dua kali. Sebagai
penutup, setelah klimaks dua kali dan tampak kelelahan dengan keringat
sekujur tubuhnya, lalu aku rebahkan dia dengan mencopot burungku.
Setelah kami masing-masing melap “barang”, kumasukkan senjataku ke liang
kenikmatannya. Posisinya aku berdiri di samping ranjang. Pantatnya
persis di bibir ranjang dan kedua kakinya di pundakku. Aku sudah siap
memulai acara penutupan ronde kedua. Kumulai dengan memasukkan burungku
secara perlahan. “Uuh…” hanya itu suara yang kudengar. Kumaju-mundurkan,
cabut-tekan, burungku. Makin lama makin cepat, lalu perlahan lagi
sambil aku ambil nafas, lalu cepat lagi. Begitu naik-turun, diikuti
suara Mamah, “Hgh.. hgh.. ” seirama dengan pompaanku.
Setiap kali aku tekan mulutnya berbunyi, “Uhgh…” Lama-lama kepala batanganku terasa berdenyut.
“Mah… aku mau keluar nikh…”
“Yah… pompa lagi… cepat lagi… Mamah juga Mas… Kita bareng ya… ya… terus…” Dan akhirnya jeritan…
“Aaaauh…” menandai klimaksnya, dan kubalas dengan genjotan penutup yang lebih kuat merapat di bibir vagina, “Crot… crott…” Aku rebah di atas badannya. Adegan ronde ketiga ini kuulangi sekali lagi. Persis seperti ronde kedua tadi.
“Mah… aku mau keluar nikh…”
“Yah… pompa lagi… cepat lagi… Mamah juga Mas… Kita bareng ya… ya… terus…” Dan akhirnya jeritan…
“Aaaauh…” menandai klimaksnya, dan kubalas dengan genjotan penutup yang lebih kuat merapat di bibir vagina, “Crot… crott…” Aku rebah di atas badannya. Adegan ronde ketiga ini kuulangi sekali lagi. Persis seperti ronde kedua tadi.
Pembaca, ini adalah pengalaman yang luar biasa buat saya. Luar biasa
karena sebelumnya aku tak pernah merasakan sensasi se-luar biasa dan
senikmat ini. Setelah itu kami tidak pernah bertemu lagi, meski aku tahu
alamatnya. Kejadian ini membuktikan, seperti yang pernah kubaca, bahwa
selingkuh yang paling nikmat dan akan membawa kesan mendalam adalah yang
dilakukan sekali saja dengan orang yang sama. Jangan ulangi lagi
(dengan orang yang sama), sensasinya atau getarannya akan berkurang. Aku
kadang merindukan saat-saat seperti ini. Selingkuh yang aman seperti
ini.
sumber:http://www.ceritapanas.com/
No comments:
Post a Comment